Senin, 09 Februari 2009

Gondang, Musik Pemuja Setan ????

Sejarah gondang dalam gereja HKBP

SERING KITA MENDENGAR perkataan bahwa ‘Gondang ialah Musik Sipelebegu’. Arti ‘Sipelebegu’ sendiri ialah pemuja setan/roh (iblis) dan ‘hasipelebeguon’ adalah segala sesuatu, baik ritual, upacara yang berhubungan dengan sipelebeguon. Tetapi sebenarnya istilah ‘Sipelebegu’ sendiri tidak pernah disebutkan oleh orang batak kepada dirinya. Istilah itu dipopulerkan oleh para misionaris dan kolonial belanda merujuk kepada ritual agama tradisional dan upacara adat batak.


Mengapa istilah ’sipelebegu’ ini ada? Kemungkinan karena masing-masing pihak punya ‘kepentingan’ khusus. Untuk para misionaris mereka menginginkan agar orang batak yang sudah kristen itu tidak lagi menjalankan ritual agama tradisional dan upacara adat batak yang berhubungan dengan dunia roh. Sedangkan kolonial Belanda menganggap dengan masih adanya ritual tradisional maka ikatan emosi, marga dan kesukuan dapat membuat mereka bersatu dan memberontak kepada pihak kolonial.

Sejak tahun 1864, Gereja Protestan Batak Toba, HKBP, telah bergulat (struggled) mengenai kebijakannya terhadap Adat, tortor dan Gondang sabangunan yg erat hubungannya dengan kehidupan tradisional batak toba. Pada masa itu Gereja melarang orang batak toba yang sudah kristen untuk mengikuti upacara ritual tradisional, tortor dan gondang. Sedangkan bagi orang batak toba sendiri hal tersebut sudah mendarah daging turun-temurun intergenerasi jauh sebelum para misionaris itu datang dan mengajarkan kekristenan di tanah batak. Hal ini menjadi dilema untuk HKBP yang beraliran lutheran dan mayoritas jemaatnya orang batak toba.

Fungsi musik gondang sendiri dalam kepercayaan agama tradisional dan upacara adat batak ialah sebagai salah satu elemen penting yang tidak dapat dipisahkan. Sama halnya dengan tortor dan gondang, keduanya berjalan seiringan dalam suatu upacara adat batak toba dan salah satunya tidak dapat dihilangkan. Dan agama tradisional batak menempatkan musik Gondang sebagai suatu media komunikasi antara manusia dan Tuhan pencipta.

Dalam perjalanannya HKBP yang pada masa itu masih dipimpin oleh Misionaris jerman Nommensen menyadari setelah mereka mempelajari dan mendalami aspek-aspek kehidupan orang batak dan mereka berkesimpulan bahwa mereka melihat tortor, gondang dan adat sangat susah dihilangkan dari kehidupan orang batak toba. Walaupun mereka sudah menjadi orang Kristen di sisi lain mereka masih juga ikut dalam ritual tradisional dan upacara adat. Maka pada tahun 1924, para Misionaris itu merumuskan lahirnya ‘Aturan Disiplin’ (order of discipline) atau dalam bahasa bataknya ‘Uhum Parhuriahon Siingoton ni angka Huria Kristen Batak).

Yaitu berisi aturan dasar atau batas-batas yang harus dipatuhi, dalam aturan disiplin itu orang batak toba yg kristen dilarang untuk mengikuti ritual tradisional dan upacara adat yang disinyalir berhubungan dengan dunia roh termasuk penyelenggaraan gondang yang bertentangan dengan iman kekristenan. Jika jemaat ada yang ingin melakukan atau mengikuti hal tersebut harus meminta ijin permisi dahulu dari sinode Gereja setempat. Jikalau ada jemaat yang ketahuan melanggar maka akan ada sanksi yang diberikan contohnya tidak diperkenankan untuk mengikuti perjamuan kudus atau dinon-aktifkan dari keanggotaan gereja.

Pada 10 May 1940, Pendeta K.Sirait diangkat menjadi Ephorus batak pertama, maka tampuk kepemimpinan Dewan Gereja HKBP dipercayakan kepada suku batak sendiri. Dan kemudian perlahan ‘Aturan Disiplin’ tersebut agak diperlonggar. Para Pimpinan Gereja yang orang batak itu menyadari bahwa gondang dan tortor semata-mata tidak dapat dihilangkan secara total dari kehidupan adat orang batak toba. Kemudian dewan gereja perlahan merevisi kembali aturan disiplin tersebut.

Bulan Juli 1968, di Pematang Siantar diadakan ‘Seminar Adat di HKBP’, pada acara Seminar itu hadir 8 pembicara yang membahas 7 topik penting yang berkaitan dengan pelaksanaan Adat, Ritual penguburan, Mangokkal Holi(reburied), Parjambaran (hak adat), Gondang, Aturan Warisan, Pembuatan Tugu dan ritual kelahiran anak. Dalam seminar tersebut M.L Siagian berpendapat bahwa dalam upacara adat penguburan jenasah orang yg sudah lanjut usia (saur Matua) diperbolehkan untuk memakai musik Gondang. Kenapa kita mesti takut memakai Gondang musik dengan alasan akan bangkitnya ‘hasipelebeguon’, atau kenapa melarang Gondang dalam merepresentasikan penghormaan dan rasa berkabung? atau Kapan kita bisa memberikan kesempatan kepada orang batak yg punya talenta untuk mengadaptasikan gondang dan tortor dalam acara kristen? (Mauly Purba: 2005).

Sedangkan B.A Simanjuntak berpendapat bahwa pemakaian gondang dan tortor bisa kita gunakan dalam ritual kristen, dan gondang tidak boleh dilupakan tetapi pelaksanaannya mesti dimonitor agar berjalan sesuai dengan iman kekristenan. Kemudian Simanjuntak menyarankan dalam upacara Saur matua misalnya agar urutan repertoir Gondang yang dipakai ialah Gondang Somba-somba, Gondang Bane-bane dan Gondang Hasahatan/Gondang Sitio-tio.

Lalu pembicara lainnya D.F Panjaitan juga setuju agar Gondang dan tortor tetap dipelihara oleh orang batak kristen. Dan dalam seminar itu juga dihasilkan beberapa revisi-revisi dari Aturan disiplin yang berhubungan dengan rituap upacara adat. Maka sejak itu penggunaan Gondang dan tortor (menari)dalam upacara adat Mangokkal holi, Saur matua dan lainnya diperbolehkan dan mereka juga merevisi aturan disiplin agar Inkulturasi penggunaan gondang dan tortor tidak bertentangan dgn Iman Kristen.

Dan pada prakteknya penggunaan gondang dan tortor dapat disinkronisasikan dengan acara kristen seperti yang belakangan ini saya lihat. Jadi Gondang bukanlah musik Sipelebegu, tetapi warisan seni musik yang perlu kita jaga agar tidak punah, dan Inkulturasi pemakaian gondang dan tortor pada Gereja batak toba menjadikannya semakin unik, dan tetap melestarikan aset kebudayaan leluhur/nenek moyang suku batak.
Sumber tulisan: [http://bataknews.wordpress.com/2007/10/25/gondang-musik-pemuja-setan/]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar