Asal Usul
Versi sejarah mengatakan si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, lebih kurang 8 Km arah Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang.Versi lain mengatakan, dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.
Diperkirakan si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama si Raja Buntal adalah generasi ke-20. Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang SRIWIJAYA yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang TAMIL di Barus. Pada tahun 1275 MOJOPAHIT menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas.
Sekitar tahun 1.400 kerajaan NAKUR berkuasa di sebelah timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.Dengan memperhatikan tahun tahun dan kejadian di atas diperkirakan : si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur danau Toba (Simalungun sekarang), dari Selatan danau Toba (Portibi) atau dari Barat danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang orang Tamil di Barus.
Akibat serangan Mojopahit ke Sriwijaya, si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya yang ditempatkan di Portibi, Padang Lawas dan sebelah timur Danau Toba (Simalungun)Sebutan Raja kepada si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya. Demikian halnya keturunan si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan dsb, meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah.
Selanjutnya menurut buku TAROMBO BORBOR MARSADA anak si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu :
- GURU TETEABULAN
- RAJA ISUMBAON dan
- TOGA LAUT.
Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya Marga Marga Batak. Sumber : disarikan dari buku “LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA” cet. ke-2 (1997) oleh Drs Richard Sinaga, Penerbit Dian Utama, Jakarta.
Kekerabatan
Marga adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal) Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki. Seorang Batak merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki laki yang meneruskan marganya. Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu. Menurut buku “Leluhur Marga Marga Batak”, jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.
TAROMBO adalah silsilah, asal usul menurut garis keturunan ayah. Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga. Bila orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya mereka saling tanya Marga dan Tarombo. Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui apakah mereka saling “mardongan sabutuha” (semarga) dengan panggilan “ampara” atau “marhula- hula” dengan panggilan “lae/tulang”. Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah ia harus memanggil “Namboru” (adik perempuan ayah/bibi), “Amangboru/Makela”,(suami dari adik ayah/Om) “Bapatua/Amanganggi/Amanguda” (abang/adik ayah), “Ito/boto” (kakak/ adik), PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki laki ibu) yang dapat kita jadikan istri, dst.
Salah satu versi ada yang menyebutkan 479 marga Batak. Dikutip dari buku: Ruhut-ruhut ni Adat Batak Karya besar : Alm. H.B. situmorang BPK Gunung Mulia, Jakarta – 1983.
Seperti dikemukakan di awal, ini adalah salah satu versi tentang Marga-marga Batak. Yang mana tulisan ini juga mengacu pada Buku : PUSTAHA BATAK : Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak karya besar : W. M. Hutagalung. CV Tulus Jaya, 1991.
Filsapat Batak
Pengertian Partuturan
Adapun yang dinamai “partuturan” ialah hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur DNT (Dalihan Na Tolu). Sesuai dengan adanya 3 unsur itu maka macam hubungan kekeluargaan pun ada tiga, yaitu:
1. Hubungan kita dengan “dongan sabutuha”.
2. Hubungan kita dengan “hulahula”.
3. Hubungan kita dengan “boru”.
Sudah barang tentu kita harus menjaga dan memelihara agar ketiga macam hubungan itu selalu berjalan dengan baik dan sempurna Ada 2 buah filsafat Batak tentang itu:
1) “Habang binsusur martolutolu,
Malo martutur padenggan ngolu.” Artinya: Kebijaksanaan menghadapi ketiga unsur DNT akan memperbaiki penghidupan.
2)”Habang sihurhur songgop tu bosar,
Na so malo martutur ingkon maos hona osar. Artinya: Kebodohan, kelalaian dan keserakahan dalam menghadapi ketiga unsur DNT akan membuat orang tergeser-geser. Maksud “tergeser-geser” (bahasa Batak “hona osar’) ialah terpaksa berpindah-pindah tempat, karena tak disukai orang, akibatnya melarat.
Berhubung dengan kedua filsafat itu, maka nenek moyang orang Batak meninggalkan 3 buah petuah atau pesan untuk keturunannya, sebagai berikut :
1) “Manat mardongan tubu.”
Pada waktu ini acap kali diperlengkapi dan berbunyi: “Molo naeng ho sanggap, manat ma ho mardongan tubu.” Artinya : Jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan “dongan sabutuha” (teman semarga).
Keterangan tentang pesan pertama ini sebagai berikut. Adapun “dongan sabutuha” itu dipandang oleh orang Batak sebagai dirinya sendiri dan dalam pergaulan antar mereka sehari hari tidak dihiraukan segi basa basi, sehingga adik acap kali tidak hormat terhadap abangnya dan demikian juga anak terhadap paktua dan pakciknya, hal mana acap kali menimbulkan perasaan kurang senang di pihak yang merasa dirugikan. Maka untuk menghindarkan itu diberilah oleh leluhur kita pesan yang tersebut di atas, agar kita hati-hati menghadapi “dongan sabutuha” kita. Untuk itu harus kita periksa dahulu kedudukan “dongan sabutuha” itu dalam “tarombo” (tambo, silsilah keturunan terhadap kita). Pada waktu ini tidak sulit lagi memeriksa hal itu. Tiap orang Batak yang tahu “tarombo”nya mengetahui tingkat generasinya pada “tarombo”-nya itu. Misalnya “dongan sabutuha” kita itu bertingkat generasi 16 dan kita sendiri tingkat 17, maka ia masuk golongan ayah kita. sehingga ia harus kita hormati sebagai ayah kita sendiri. Kalau ada jamuan makan janganlah kita mempertahankan tempat duduk kita di “juluan” (tempat terhormat) kalau nampak seorang “dongan sabutuha” dari golongan lebih tinggi (abang, ayah atau nenek) belum mendapat tempat yang layak, tetapi kita harus mempersilakan dia. duduk di tempat duduk kita sendiri, sekalipun menurut umur, kita lebih tua dari dia.
Dalam hal kita lebih tua dari dia, maka “dongan sabutuha” itu yang tentu juga mengetahui pesan leluhur kita itu, tidaklah akan gegabah terus menerima ajakan kita itu, tetapi dengan spontan ia akan menolak serta berkata, “Ah, tidak, yang tua-tua harus di hormati, tinggallah di situ, terimakasih.” Dalam pada itu ia sudah senang dan puas karena penghormatan kita itu. Dalam hal musyawarah pun atau pada rapat menyelesaikan perselisihan hendaklah kita selalu mengindahkan betul-betul basa-basi terhadap “dongan sabutuha”. Dengan jalan demikian maka semua “dongan sabutuha” akan selalu solider atas tindakan tindakan kita dan akan menghormati dan menghargai kita dengan sewajarnya; hal ini berpengaruh juga kepada orang disekeliling kita.
2) “Somba marhulahula”.
Biasanya diperpanjang dan berbunyi: “Molo naeng ho gabe, somba ma ho marhulahula.” Artinya : Jika engkau hendak “gabe” (berketurunan banyak) hormatilah “hulahula”-mu. Keterangannya : Untuk orang Batak maka “hagabeon” lah yang paling diharapkan dan dicita-citakan. Tanpa keturunan ia tak mungkin berbahagia. Hal itu terang nampak pada pantun Batak : “Hosuk humosukhosuk, hosuk di tombak ni Batangtoru; Porsuk nina porsuk, sai umporsuk dope na so maranak so marboru”. Artinya : Penderitaan yang, paling berat ialah tidak berketurunan.
Adapun “hulahula” itu dipandang oleh orang Batak sebagai media (penengah) yang sangat berkuasa untuk mendoakan “hagabeon” dari Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini telah menjadi darah daging bagi orang Batak berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Itulah yang membuat penghormatan tinggi dan menonjol terhadap “hulahula”. Juga dalam hal penyelesaian perselisihan dengan “hulahula”, penghormatan itu tetap dipertahankan sebagaimana nampak dengan jelas pada suatu sebutan khas Batak, yang berbunyi “Sada sala niba, pitu sala ni hulahula, sai hulahula i do na tutu”. Artinya : Walau ada 7 buah kesalahan “hulahula” dan salah kita hanya satu, maka “hulahula” itulah selalu dipihak yang benar. Maksudnya : Kita harus selalu mengalah terhadap “hulahula”, karena walaupun nampaknya kita menderita rugi, namun akibatnya selalu menguntungkan kita, karena walaupun “hulahula” itu kita buat menang dalam perselisihan itu sehingga ia mendapat keuntungan materi, namun ada lagi sebuah sebutan khas Batak yang bunyinya, “Anggo tondi ni hulahula i sai tong do mamasumasu iba”. Artinya : Namun, roh “hulahula” itu tetap mendoakan kebahagiaan untuk kita. Dan menurut filsafat Batak: Roh atau jiwa itu lebih berkuasa dari badan.
Buat orang Batak yang taat beragama tidaklah berat untuk menuruti sebutan yang tertulis di atas, karena dalam ajaran Alkitab tertulis, “Memaafkan kesalahan orang lain tidak cukup hanya satu kali atau 7 kali, tetapi 70 kali 7, artinya tentu terus menerus”.
3) “Elek marboru”.
Biasanya diperpanjang: “Molo naeng ho mamora, elek ma ho marboru.” Artinya : Kalau ingin kaya, berlaku membujuklah terhadap “boru”. Keterangan: Sebenarnya menurut ‘adat Batak, “boru” itu dalam hubungan kekeluargaan berada di bawah kita, sehingga boleh kita suruh mengerjakan sesuatu. Namun anjuran leluhur Batak ialah agar permintaan-permintaan kita kepada “boru” sekali-kali tak boleh menyerupai perintah tetapi harus berupa dan bersifat bujukan. Leluhur Batak tahu benar bahwa bujukan lebih kuat daripada paksaan dan selain itu bujukan itu dapat tetap memelihara kasih sayang di antara “boru” dan “hulahula”, yang tidak dapat dicapai dengan paksaan. Maka dengan bujukan besarlah harapan kita akan memperoleh semua yang kita minta dari boru kita, yang membuat kita kaya. Perkataan “kaya” di sini harus diartikan “perasaan kaya”, yang maksudnya “perasaan senang”. Dan memang orang yang merasa senanglah yang paling kaya di dunia ini dan bukanlah dengan sendirinya yang memiliki uang atau harta yang terbanyak.
Dalam hal adanya perselisihanpun dengan “boru”, maka hal membujuk inipun harus dipertahankan karena pengaruh dan akibatnya ialah: boru itupun dari pihaknya akan menuruti pesan nenek moyang “somba marhulahula” tersebut diatas, sehingga. penyelesaian persengketaan dapat tercapai dengan mudah dan dalam suasana yang harmonis.
4) “Molo naeng ho martua di tano on, pasangap me natorasmu.”
Artinya : Jika kamu ingin berbahagia. di dunia ini, hormatilah orang tuamu. Adapun petuah ini boleh dikatakan hanyalah tambahan dari ketiga pesan pertama yang tersebut di atas dan baru menonjol setelah banyak orang Batak memeluk agama Kristen atau Islam. Kita maklum, bahwa agama memerintahkan kepada manusia menghormati orang tuanya seperti yang telah dituliskan oleh Nabi Musa dalam Kitabnya yang kelima pasal 5 ayat 16, yang berbunyi: “Hormatilah orang tuamu, supaya umurmu lanjut dan selamatlah kamu dalam negeri yang dikaruniakan Tuhan Allah kepadamu.”
Nasehat nenek moyang orang Batak hampir sama bunyinya, dengan perintah Allah itu, yaitu :
“Tinaba hau toras bahen sopo tu balian,
Na pantun marnatoras ingkon dapotan parsaulian,
Alai na tois marnatoras, olo ma i gomahon ni babiat.”
Artinya : Yang menghormati orang tuanya akan menerima kebahagiaan, tetapi yang durhaka terhadap orang tuanya mungkin akan diterkam harimau.
Dalam hal nasihat.yang ke-4 ini agama dan adat kedua-duanya bersifat saling mendukung satu sama lain. Tentang arti luas dari perkataan: “natoras” (orang tua), maka pendapat ahli-ahli agama dan nenek moyang orang Batak sesuai benar, yaitu: di samping ibu dan ayah-kandung harus juga kita hormati guru-guru, pemimpin-pemimpin, pemerintah dan semua orang tua-tua pria dan wanita. Tentang penghormatan terhadap orang tua yang telah meninggal telah dibahas dalam. “Dapatkah DNT bertahan sampai akhir zaman ?”
Nasehat No. 4 inilah yang paling utama harus diperhatikan oleh para pemuda dan pemudi pada zaman sekarang ini. Dengan tidak mengindahkan nasehat ini, tidak mungkin tercapai kebahagiaan yang lama di dunia ini.
Di samping yang telah dipaparkan di atas, maka “partuturan” itu mempunyai lagi peraturan-peraturan lain yang juga harus diperhatikan dan dituruti untuk menjaga dan memelihara hubungan baik antara ketiga unsur DNT, yaitu yang dinamai peraturan “parsubangonjo”.
Pengertian Parsubangon
Adapun yang dimaksud dengan peraturan “parsubangon” ialah peraturan-peraturan pantangan (parsubangon = yang dipantangkan). Tujuannya ialah menertibkan anggota-anggota keluarga terlebih-lebih yang berlainan jenis kelamin dalam pergaulan sehari-hari agar pergaulan itu tetap berjalan di atas rel yang telah ditetapkan oleh peraturan-peraturan DNT dan terutama mengenai penghormatan terhadap’ “hulahula” dan terhadap orang tua. Misalnya, kita dengan istri saudara lelaki istri kita (bahasa Bataknya “bao” tidak boleh berbicara secara. bebas, apa lagi bersenda guraur. Apa sebab? Saudara istri kita itu adalah “hulahula” yang paling dekat kepada kita. Maka istrinya pun harus menerima penghormatan sebagai “hulahula”, malahan harus lebih daripada yang biasa karena dia itu adalah seorang wanita dah tentang “Ina” (ibu) filsafat Batak berbunyi :
“Sada sangap tu ama, dua sangap tu ina.” Artinya : Satu penghormatan terhadap bapak, tetapi dua terhadap ibu.
Maksudnya : Di samping menerima penghormatan biasa yang diterima oleh kaum bapak, maka ibu harus lagi menerima penghormatan istimewa, karena ibu itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk melahirkan anak-anak yang membawa kebahagiaan tertinggi dalam rumah tangga orang Batak.
Terhadap istri adik laki-laki kita pun kita harus berlaku sama seperti terhadap “bao” tersebut, sesuai dengan filsafat Batak “Marboras ia singkoru, marmutik ia timbaho, Dos do na maranggi boru dohot halak na -marbao.” Artinya : Penghormatan terhadap istri adik kita sama dengan penghormatan terhadap istri saudara lelaki istri kita.
Tentang penghormatan terhadap istri adik kita itu, orang luar mungkin heran dan bertanya, “Kenapa begitu, bukankah istri adik kita itu tidak termasuk “hulahula”, malahan adik kita itu dalam adat berada di bawah kita dan tentu istrinya pun demikian juga?”. Pertanyaan itu memang beralasan benar, karena penghormatan terhadap “anggiboru” (sebutan dalam bahasa Batak untuk istri adik) itu nampak berlawanan dengan yang diperkirakan. Ini memang benar karena itu perlu diberikan penjelasan ringkas.
Adapun kita (diri kita) bukanlah hanya abang dari adik saja, tetapi juga berfungsi sebagai ayah baginya, terlebih-lebih kalau ayah kita telah meninggal. Oleh karena itu istri adik kita itu tidak boleh kita pandang hanya sebagai adik saja, tetapi harus lebih dari itu menurut fungsi kita sebagai “ayah” suaminya (mertuanya), jadi memandangnya sebagai menantu penuh; perhubungan ini termasuk golongan “parsubangon”
Sudah barang tentu ketertiban pergaulan tersebut diatas bertujuan juga untuk menjauhkan kemesuman yang sering mengancam keluarga-kelarga Batak dahulu kala, oleh karena rumah-rumah biasanya didiami oleh empat atau lima rumah tangga (dalam bahasa Batak “ripe”) dan rumah-rumah itu tidak mempunyai kamar-kamar, sehingga ketertiban didalamnya antara keluarga-keluarga itu bulat-bulat terserah kepada kesadaran ber-DNT.
Sudah barang tentu sudah ada sangsi-sangsi, terhadap orang, yang melanggar ketertiban itu berupa hukuman-hukuman berat. Tetapi disamping itu, untuk mencegah pelanggaran atas ketertiban hidup itu, ada juga kutukan yang berbunyi : “Habang pidong pua manjoloani sidaodao, Sai mangunsisi do nasa tua sian jolma na so marpaho, Sipalea natuatua na so umboto adat marbao.” Artinya : Segala tuah akan menyisih (lari) dari orang yang tidak memperdulikan sopan santun dan yang tidak menghormati orang tua dan tidak tahu adat terhadap “bao”
Pada zaman dahulu “parsubangon” luar biasa hebatnya. Seorang ibu yang hendak memberi tahukan kepada “bao” nya, bahwa makanan telah menunggu “bao” nya itu, tidak akan menujukan panggilannya langsung kepada “bao” nya itu, tetapi kepada tiang rumah dan akan berkata “E tiang, makanlah.”
Pada zaman sekarang ini hal serupa itu tidak kedapatan lagi. Orang telah mengubahnya dengan cara biasa, tetapi dengan penuh sopan santun.
Perkembangan Partuturan
Adapun yang menjadikan adanya “partuturan” itu sebenarya hanya dua dasar, yaitu: 1) Semarga, dan 2) Tidak semarga. Yang pertama (semarga) menjadikan “pardongan sabutuhaon” (hal berteman semarga) dan yang kedua (tidak semarga) menjadikan “parhula ianakkonon” (hal ber “hulahula” dan ber “boru”). Diantara kedua golongan “partuturan” itu maka “pardongan sabutuhaon” lah yang tetap (abadi) dan tak dapat hapus atau hilang, sedang “parhula ianakkonon” dapat luntur dan pudar jika tidak diulang-ulang oleh generasi-generasi yang berikut dan dapat lenyap kalau terjadi perceraian antara suami istri. Namun “parhula ianakkonon” itu sama saja kedudukannya dalam DNT dengan “pardongan sabutuhaon”.
Perbedaan yang unik antara kedua macam hubungan kekeluargaan itu ialah: “pardongan sabutuhaon” boleh dikatakan statis (tak berubah) yaitu kalau saya bermarga Nababan maka hanya orang-orang yang bermarga Nababanlah “dongan sabutuha” saya. Lain halnya dengan “hulahula” dan “boru” yang keduanya berkembang-dengan cepat dan pesat. Ingatlah, bahwa tiap kali ada pesta perkawinan dalam lingkungan keluarga kita berarti perluasan kekeluargaan kita, yaitu bertambahnya “hulahula” dan “boru”.
Keunikan lain lagi dalam hal ini ialah, perkembangan itu kadang-kadang dapat juga kita atur menurut kehendak kita. Misalnya, pada saat ini dengan perkawinan anak-anak saya dengan famili yang lain, saya telah berhubungan keluarga (ber”hulahula” dan ber”boru”) dengan marga-marga Simanjuntak, Siregar, Siahaan, Hutabarat, Silitonga dan lain-lain marga lagi, tetapi belum dengan marga Tobing dan saya kepingin benar berhubungan keluarga dengan marga Tobing itu, karena ada perlunya. Apa daya? Mudah saja. Saya ajak seorang di antara anak-anak saya atau anak-anak saudara-saudara saya (yang dekat atau yang jauh) kawin dengan seorang putra atau putri marga Tobing dan tercapailah keinginan saya itu.
Dimanakah batas-batas “partuturan” itu?
Pertanyaan itu pernah diajukan oleh seorang bangsa asing yang sangat kagum melihat luasnya “partuturan” Batak itu, kepada penulis, lalu penulis menjawab,” Ada filsafat Batak tentang itu bunyinya sebagai berikut :
Poda do sibahen na sursuran; Roha do sibahen dao ni partuturan. Artinya : Pelajaran-pelajaran yang diterimalah menentukan kepandaian seseorang dan hatilah yang menentukan batas-batas “partuturan”. Maksudnya : kemauan dan suka hati oranglah yang menentukan batas-batas “pertuturan” nya. Mau luas bisa, mau sempit boleh juga. Dengan sempit dimaksud hanya famili dikenal saja. Kalau dikatakan luas, maka turutlah semua famili yang belum dikenal dan yang belakangan inilah yang paling banyak. Dapatlah kita bayangkan betapa banyaknya jumlah itu, bila kita ingat bahwa “hulahula” dan “boru” semua teman sermarga kita turut menjadi “hulahula” dan “boru” kita.
Selain itu ada lagi cara yang sangat unik khas Batak, untuk memperluas bidang kekelurgaannya. Di bawah ini diberikan beberapa buah contoh :
A dan B, sama-sama orang Batak, duduk berdampingan dikereta api. Kedua-duanya adalah orang Batak totok (artinya dapat mencium atau mempunyai firasat bahwa kawan yang duduk di sampingnya itu pasti orang Batak juga). Si A bertanya : “Apa marga saudara?”
“Siregar,” sahut si B. Kebetulan si A pun bermarga Siregar juga, lalu bertanya lagi, “Tingkat berapa keluarga saudara?” Jawab si B, “Tingkat delapanbelas (18)”. Mendengar itu berkatalah si A. “Kalau begitu saya nenekmu karena keluarga saya tingkat enambelas.”
Hubungan kekeluargaan yang baru saja ditetapkan itu tidak tinggal teori saja, tetapi terus dipraktekkan dengan serius. Mereka itu bersama-sama pergi minum kopi. Waktu tiba saatnya membayar, maka tidaklah terjadi seperti pemeo Batak, “Tan taran tante, Masi garar kopina be”
Artinya: Masing-masing membayar kopinya. Tetapi dengan segera si B membuka dompetnya dan membayar kopi mereka berdua. Kenapa si B membayar? Karena dia merasa bahwa dia adalah “cucu” si A dan harus menghormati “neneknya” si A itu sesuai dengan peraturan DNT.
Contoh kedua :
Dalam hal ini si A dan si B berlainan marga. A bermarga Nababan dan B bermarga Siregar. Maka terjadilah pembicaraan berikut. Karena si A lebih tua maka menurut peraturan DNT dialah yang berhak membuka pembicaraan. Katanya, “Santabi, lae. Halak hita do hamu?” (Maaf saudara. Orang kitakah saudara?) Jawab si B, “Ba i do.” (Ya begitulah) Si A melanjutkan, “Antong, Jolo hutiptip ma sanggar bahen huruhuruan, Jolo husungkun ma marga, asa binoto partuturan.”
Artinya : Kalau begitu, saya tanyalah dahulu marga saudara, agar saya dapat menentukan “partuturan” kita.
Sahut si B, “Siregar do ahu.” (Saya Siregar).
Mendengar itu si A agak bingung sebentar karena dia sendiri adalah marga Nababan, dan di antara familinya yang dekat di kampungnya tak ada seorang pun yang bermarga Siregar. Namun dia perlu mengetahui hubungan famili dengan temannya seperjalanan itu, agar selama perjalanan itu dia dapat bergaul dengan si B. Lalu di perasnya otaknya mengingat, apakah ada di antara familinya yang banyak itu yang bermarga Siregar. 0 ya, benar di Padangsidempuan ada seorang marga Nababan beristri putri Siregar. Sebenarnya hubungannya dengan teman semarganya yang di Sidempuan itu sudah jauh di atas, tetapi hal itu tidak menjadi penghalang bagi si A, karena menurut peraturan DNT, dia berhak penuh menyebut orang itu adik atau kakaknya. Maka dengan muka berseri-seri dia berkata kepada si B, “Bo, syukurlah, saudara adalah “hulahula” saya, karena ada saudara saya di Sidempuan yang beristri boru Siregar. Horaslah, “tulang” (mamak).” Sahut si B, “Kalau begitu syukurlah. Horas ma, amangboru (amangboru ialah panggilan terhadap bapak suami saudara perempuan. kita ataupun suami dari saudara perempuan ayah kita).”.
Juga dalam hal ini A dan B memandang hubungan kekeluargaan yang baru itu serius dan terus dipraktekkan. Ketika mereka pergi ke warung kopi untuk minum, si A mempersilakan si B duduk di tempat yang paling baik. Mula-mula karena merasa dirinya lebih muda, si B menolak walaupun dia tahu bahwa dia boleh menerima tawaran itu sebagai “hulahula”. Tetapi si A mempertahankan ajakannya, katanya, “Tidak mamak, kita baru kali ini berkenalan, karena itu kita harus menurut benar-benar peraturan adat DNT. Pada waktu membayar kopipun si A menmperlihatkan ketaatannya terhadap peraturan DNT dan membayar kopi mereka berdua. Selanjutnya mereka itu terus menerus berpegang pada hubungan kekeluargaan itu, bukan hanya selama perjalanan kali itu, tetapi juga di tempat-tampat lain dimana saja mereka bertemu.
Sekian penerangan tentang “partuturan”.
Paratur ni Parhundulon
Paratur ni parhundulon berarti posisi duduk, ini adalah salah satu istilah dalam ritual adat Batak, yang kemudian dimaknakan dalam kehidupan sehari-hari. Posisi duduk dalam suatu acara adat Batak sangat penting, karena itu akan mencerminkan unsur-unsur penghormatan kepada pihak-pihak tertentu.
Karena yang menulis sumber-sumber bacaan ini, termasuk saya, kesemuanya laki-laki, maka ada baiknya kita memposisikan diri sebagai pihak laki-laki, agar nantinya mudah memahami berbagai struktur partuturon yang saya dan kita semua tahu, sangat rumit. Kepada ito-ito yang mungkin akan kebingungan, cobalah membayangkan seolah ito-ito semua adalah laki-laki dalam keluarga. Di akhir bacaan nanti, diharapkan pembaca bisa memahami posisinya masing-masing, dan juga posisi orang-orang di sekeliling kita tercinta.
Dalam kehidupan orang Batak sehari-hari, kekerabatan (partuturon ) adalah kunci pelaksanaan dari falsafah hidupnya, Boraspati ( baca boraspati di artikel saya selanjutnya, ini digambarkan dengan dua ekor cecak/cicak, saling berhadapan, yang menempel di kiri-kanan Ruma Gorga/Sopo/Rumah Batak ). Kekerabatan itu pula yang menjadi semacam tonggak agung untuk mempersatukan hubungan darah, menentukan sikap kita untuk memperlakukan orang lain dengan baik ( nice attitude ).
Kita selaku orang Batak berbudaya sudah menanamkan ini sejak dulu kala, kita tentu masih ingat petuah nenek moyang kita, seperti :’ Jolo tiniptip sanggar, laho bahen huruhuruan, jolo sinungkun marga, asa binoto partuturan ” Hau antaladan, parasaran ni binsusur, sai tiur do pardalanan molo sai denggan iba martutur”
Ada tiga bagian kekerabatan, dinamakan ” Dalihan Na Tolu ”. Adapun isi :
Manat mardongan tubu = hati-hati bersikap terhadap dongan tubu
Elek marboru = memperlakukan semua perempuan dengan kasih
Somba marhulahula = menghormati pihak keluarga perempuan
Yang dimaksud dengan dongan tubu ( sabutuha ) :
1. Dongan sa-ama ni suhut = saudara kandung
2. Paidua ni suhut ( ama martinodohon ) = keturunan Bapatua/Amanguda
3. Hahaanggi ni suhut / dongan tubu ( ompu martinodohon ) = se-marga, se-kampung
4. Bagian panamboli ( panungkun ) ni suhut = kerabat jauh
5. Dongan sa-marga ni suhut = satu marga
6. Dongan sa-ina ni suhut = saudara beda ibu
7. Dongan sapadan ni marga ( pulik marga ), mis : Tambunan dengan Tampubolon ( Padan marga akan saya tuliskan juga nanti, lengkap dengan ‘Padan na buruk’ = sumpah mistis jaman dulu yang menyebabkan beberapa marga berselisih, hewan dengan marga, kutukan yang abadi, dimana hingga saat ini tetap ada tak berkesudahan )
Kata-kata bijak dalam berhubungan dengan dongan sabutuha :
Manat ma ho mardongan sabutuha, molo naeng sangap ho
Tampulon aek do na mardongan sabutuha
Tali papaut tali panggongan, tung taripas laut sai tinanda do rupa ni dongan
Yang dimaksud dengan boru :
1. Iboto dongan sa-ama ni suhut = ito kandung kita
2. Boru tubu ni suhut = puteri kandung kita
3. Namboru ni suhut
4. Boru ni ampuan, i ma naro sian na asing jala jinalo niampuan di huta ni iba = perempuan pendatang yang sudah diterima dengan baik di kampung kita
5. Boru na gojong = ito, puteri dari Amangtua/Amanguda ataupun Ito jauh dari pihak ompung yang se-kampung pula dengan pihak hulahula
6. Ibebere/Imbebere = keponakan perempuan
7. Boru ni dongan sa-ina dohot dongan sa-parpadanan = ito dari satu garis tarombo dan perempuan dari marga parpadanan ( sumpah )
8. Parumaen/maen = perempuan yang dinikahi putera kita, dan juga isteri dari semua laki-laki yang memanggil kita ‘Amang’
Kata-kata bijak dalam berhubungan dengan boru :
Elek ma ho marboru, molo naeng ho sonang
Bungkulan do boru ( sibahen pardomuan )
Durung do boru tomburon hulahula, sipanumpahi do boru tongtong di hulahula
Unduk marmeme anak, laos unduk do marmeme boru = kasih sayang yang sama terhadap putera dan puteri
Tinallik landorung bontar gotana, dos do anak dohot boru nang pe pulikpulik margana
Kata-kata bijak perihal bere :
Amak do rere anak do bere, dangka do dupang ama do tulang
Hot pe jabu i sai tong do i margulanggulang, tung sian dia pe mangalap boru bere i sai hot do i boru ni tulang
Yang dimaksud dengan hulahula :
1. Tunggane dohot simatua = lae kita dan mertuaTulang
2. Bona Tulang = tulang dari persaudaraan ompung
3. Bona ni ari = hulahula dari Bapak ompung kita ( rumit ). Pokoknya, semua hulahula yang posisinya sudah jauh di atas, dinamai Bona ni ari.
4. Tulang rorobot = tulang dari lae/isteri kita, tulang dari nantulang kita, tulang dari ompung boru lae kita dan keturunannya. Boru dari tulang rorobot tidak bisa kita nikahi, merekalah yang disebut dengan inang bao.
5. Seluruh hulahula dongan sabutuha, menjadi hulahula kita juga ( ya ampunnn )
Kata-kata bijak penuntun hubungan kita dengan hulahula :
Sigaiton lailai do na marhulahula, artinya ; sebagaimana kalau kita ingin menentukan jenis kelamin ayam (jantan/betina ), kita terlebih dulu menyingkap lailai-nya dengan hati-hati, begitupula terhadap hulahula, kita harus terlebih dulu mengetahui sifat-sifat dan tabiat mereka, supaya kita bisa berbuat hal-hal yang menyenangkan hatinya.
Na mandanggurhon tu dolok do iba mangalehon tu hulahula, artinya ; kita akan mendapat berkat yang melimpah dari Tuhan, kalau kita berperilaku baik terhadap hulahula.
Hulahula i do debata na tarida
Hulahula i do mula ni mata ni ari na binsar. Artinya, bagi orang Batak, anak dan boru adalah matahari ( mata ni ari ). Kita menikahi puteri dari hulahula yang kelak akan memberi kita hamoraon, hagabeon, hasangapon, yaitu putera dan puteri ( hamoraon, hagabeon, hasangapon yang hakiki bagi orang Batak bukanlah materi, tetapi keturunan, selengkapnya baca di ‘Ruma Gorga’ )
Obuk do jambulan na nidandan baen samara, pasupasu na mardongan tangiang ni hulahula do mambahen marsundutsundut so ada mara
Nidurung Situma laos dapot Porapora, pasupasu ni hulahula mambahen pogos gabe mamora
Nama-nama partuturon dan bagaimana kita memanggilnya ( ini versi asli, kalau ternyata dalam masa sekarang kita salah menggunakannya, segeralah perbaiki ) ( sekali lagi, kita semua memposisikan diri kita sebagai laki-laki )
1st. Dalam keluarga satu generasi
1. Amang/Among : kepada bapak kandung
2. Amangtua : kepada abang kandung bapak kita, maupun par-abangon bapak dari dongan sabutuha, parparibanon. Namun kita bisa juga memanggil ‘Amang’ saja
3. Amanguda : kepada adik dari bapak kita, maupun par-adekon bapak dari dongan sabutuha, parparibanon. Namun bisa juga kita cukup memanggilnya dengan sebutan ‘Amang’ atau ‘Uda’
4. Haha/Angkang : kepada abang kandung kita, dan semua par-abangon baik dari amangtua, dari marga
5. Anggi : kepada adik kandung kita, maupun seluruh putera amanguda, dan semua laki-laki yang marganya lebih muda dari marga kita dalam tarombo. Untuk perempuan yang kita cintai, kita juga bisa memanggilnya dengan sebutan ini atau bisa juga ‘Anggia’
6. Hahadoli : atau ‘Angkangdoli’, ditujukan kepada semua laki-laki keturunan dari ompu yang tumodohon ( mem-per-adik kan ) ompung kita
7. Anggidoli : kepada semua laki-laki yang merupakan keturunan dari ompu yang ditinodohon ( di-per-adik kan ) ompung kita, sampai kepada tujuh generasi sebelumnya. Uniknya, dalam acara ritual adat, panggilan ini bisa langsung digunakan ( tidak perlu memakai Hata Pantun atau JagarJagar ni hata : tunggu artikel berikut )
8. Ompung : kepada kakek kandung kita. Sederhananya, semua orang yang kita panggil dengan sebutan ‘Amang’, maka bapak-bapak mereka adalah ‘Ompung’ kita. Ompung juga merupakan panggilan untuk datu/dukun, tabib/Namalo.
9. Amang mangulahi : kepada bapak dari ompung kita. Kita memanggilnya ‘Amang’
10. Ompung mangulahi: kepada ompung dari ompung kita
11. Inang/Inong : kepada ibu kandung kita
12. Inangtua : kepada isteri dari semua bapatua/amangtua
13. Inanguda : kepada isteri dari semua bapauda/amanguda
14. Angkangboru : kepada semua perempuan yang posisinya sama seperti ‘angkang’
15. Anggiboru : kepada adik kandung. Kita memanggilnya dengan sebutan ‘Inang’
16. Ompungboru : lihat ke atas
17. Ompungboru mangulahi : lihat ke atas
2nd. Dalam hubungan par-hulahula on
1. Simatua doli : kepada bapak, bapatua, dan bapauda dari isteri kita. Kita memangilnya dengan sebutan ‘Amang’
2. Simatua boru : kepada ibu, inangtua, dan inanguda dari isteri kita. Kita cukup memangilnya ‘Inang’
3. Tunggane : disebut juga ‘Lae’, yakni kepada semua ito dari isteri kita
4. Tulang na poso : kepada putera tunggane kita, dan cukup dipangil ‘Tulang’
5. Nantulang na poso : kepada puteri tunggane kita, cukup dipanggil ‘Nantulang’
6. Tulang : kepada ito ibu kita
7. Nantulang : kepada isteri tulang kita
8. Ompung bao : kepada orangtua ibu kita, cukup dipanggil ‘Ompung’
9. Tulang rorobot : kepada tulang ibu kita dan tulang isteri mereka, juga kepada semua hulahula dari hulahula kita (amangoi…borat na i )
10. Bonatulang/Bonahula : kepada semua hulahula dari yang kita panggil ‘Ompung’
11. Bona ni ari : kepada hulahula dari ompung dari semua yang kita panggil ‘Amang’, dan generasi di atasnya
3rd. Dalam hubungan par-boru on
1. Hela : kepada laki-laki yang menikahi puteri kita, juga kepada semua laki-laki yang menikahi puteri dari abang/adik kita. Kita memanggilnya ‘Amanghela’
2. Lae : kepada amang, amangtua, dan amanguda dari hela kita. Juga kepada laki-laki yang menikahi ito kandung kita
3. Ito : kepada inang, inangtua, dan inanguda dari hela kita
4. Amangboru : kepada laki-laki ( juga abang/adik nya) yang menikahi ito bapak kita
5. Namboru : kepada isteri amangboru kita
6. Lae : kepada putera dari amangboru kita
7. Ito : kepada puteri dari amangboru kita
8. Lae : kepada bapak dari amangboru kita
9. Ito : kepada ibu/inang dari amangboru kita
10. Bere : kepada abang/adik juga ito dari hela kita
11. Bere : kepada putera dan puteri dari ito kita
12. Bere : kepada ito dari amangboru kita
Alus ni tutur tu panjouhon ni partuturan na tu ibana ( hubungan sebutan kekerabatan timbal balik ). Kalau kita laki-laki dan memanggil seseorang dengan :
Orang itu akan memanggil kita :
amang, amangtua, amanguda amang, inang, inangtua, inanguda amang
angkang anggi(a)
ompungdoli (suhut = dari pihak laki-laki) anggi(a)
ompungboru ( suhut ) anggi(a)
ompungdoli ( bao = dari pihak perempuan ) lae
ompungboru ( bao ) amangbao
inang ( anggiboru ) amang
anggia angkang
anggia ( pahompu ) ompung
inang ( bao ) amang
inang ( parumaen ) amang
amang ( simatua ) amanghela
inang ( simatua ) amanghela
tunggane lae
tulang bere
nantulang bere
tulang na poso amangboru
nantulang na poso amangboru
bere tulang
ito ito
parumaen/maen amangboru
amang ( na mambuat maen ni iba ) amang
Kalau kita perempuan dan memanggil seseorang dengan : Orang itu akan memanggil kita :
amang, amangtua, amanguda inang
inang, inangtua, inanguda inang
angkang anggi(a)
ompungdoli (suhut = dari pihak laki-laki) ito
ompungboru ( suhut ) eda
ompungdoli ( bao = dari pihak perempuan ) ito
ompungboru ( bao ) eda
inang ( anggiboru ) #####
anggia angkang
anggia ( pahompu ) #####
inang ( bao ) #####
inang ( parumaen ) inang
amang ( simatua ) inang
inang ( simatua ) inang
tunggane #####
tulang bere
nantulang bere
tulang na poso #####
nantulang na poso #####
bere nantulang
ito ito
parumaen/maen nanmboru
amang ( na mambuat maen ni iba ) inang
Beberapa hal yang perlu di ingat :
Hanya laki-laki lah yang mar-lae, mar-tunggane, mar-tulang na poso dohot nantulang na poso
Hanya perempuan lah yang mar-eda, mar-amang na poso dohot inang na poso
Di daerah seperti Silindung dan sekitarnya, dalam parparibanon, selalu umur yang menentukan mana sihahaan (menempati posisi haha ), mana sianggian ( menempati posisi anggi ). Tapi kalau di Toba, aturan sihahaan dan sianggian dalam parparibanon serta dongan sabutuha sama saja aturannya.
Ada lagi istilah LEBANLEBAN TUTUR, artinya pelanggaran adat yang dimaafkan. Misalnya begini : saya punya bere, perempuan, menikah dengan laki-laki, putera dari dongan sabutuha saya. Nah, seharusnya, si bere itu memanggil saya ‘Amang’ karena pernikahan itu meletakkan posisi saya menjadi mertua/simatua, dan laki-laki itu harus memanggil saya ‘Tulang rorobot’ karena perempuan yang dia nikahi adalah bere saya. Tapi tidaklah demikian halnya. Partuturon karena keturunan lebih kuat daripada partuturon apa pun, sehingga si bere harus tetap panggil saya ‘Tulang’ dan si laki-laki harus tetap memanggil saya ‘Bapatua/bapauda’.
Adat Untuk Warga Yang Meninggal Dunia
Kalau kita berbicara tentang kematian, secara tidak langsung itulah yang ditunggu-tunggu manusia yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan abadi. Kematian itu adalah proses alami yang harus berlaku bagi setiap manusia yang beragama (menurut kepercayaan), dan khususnya Dalihan Natolu, mempunyai arti tersendiri sehingga tidak lepas dari bagian Adat dan Budaya Batak.
Dalam hal ini kita dapat mengamati pada acara dan Upacara yang berlaku di masyarakat Dalihan Natolu khususnya di Jabotabek dalam segala usia dan menurut kebiasaan yang dilakukan. Oleh karena itu perlu kita ajukan suatu acuan pedoman yang diharapkan dapat menjadi tuntunan bagi masyarakat Dalihan Natolu dalam pelaksanaan Adat kematian dimasa mendatang.
Kita dapat membedakan Adat Kematian dalam masyarakat Dalihan Natolu berdasarkan agama (dapat dijelaskan secara singkat).
Macam atau Ragam Adat bagi warga yang meninggal dunia
1. TILAHA : Kematian bagi warga Dalihan Natolu berkeluarga yang biasa disebut NAPOSO dalam hal ini perlakuan.
2. PONGGOL ULU (SUAMI) : Kematian yang diakibatkan si suami lebih dahulu meninggal dunia daripada si istri, dalam hal ini usia muda dan belum punya cucu atau belum punya keturunan.
3. MATOMPAS TATARING (ISTRI) : Kematian yang diakibatkan si istri lebih dahulu meninggal daripada si suami, dalam hal ini usia muda dan belum punya cucu atau belum punya keturunan.
4. SAUR MATUA : Kematian yang diakibatkan meninggalnya salah satu dari suami/istri yang sudah mempunyai cucu dan semua anak-anaknya sudah berkeluarga.
5. MATUA BULUNG : Kematian yang diakibatkan meninggalnya salah satu dari suami/istri yang telah mempunyai cucu bahkan sudah mempunyai cicit atau disebut Nini/Nono dengan lanjut usia.
6. Nini : Disebut keturunan dari anak laki-laki
7. Nono : Disebut keturunan dari anak perempuan
Bagaimanakah hubungannya kematian tersebut dengan Adat Dalihan Natolu, dalam hal ini lebih dahulu kita harus mengetahui yang meninggal termasuk golongan mana dari Ragam kematian tersebut diatas untuk menempatkan Adat juga hubungannya dengan Ulos.
Dalihan Natolu mempunyai 3 hal yang berhubungan dengan Ulos
1. Pemberian ULOS SAPUT, Ulos ini diberikan kepada yang meninggal dunia sebagai tanda perpisahan. Siapakah yang berhak memberikan SAPUT tersebut, dalam hal ini perlu kita mempunyai satu persepsi untuk masa yang akan datang karena hal ini banyak berbeda pendapat menurut lingkungannya masing-masing, misalnya HULA-HULA/TULANG.
2. Pemberian ULOS TUJUNG, Dalam hal ini semua dapat menyetujui dari pihak HULA-HULA
3. Pemberian ULOS HOLONG
Dari semua pihak Hula-hula, Tulang Rerobot bahkan Bona ni Ari termasuk dari Hula-hula ni Anak Manjae/Hula-hula ni na Marhaha Maranggi, berhak memberikan kepada Keluarga yang meninggal.
Bagaimanakah hubungannya dengan Adat Dalihan Natolu diluar Ulos tersebut yang mempunyai harga diri (dalam Pesta Adat). Dalam hal ini terjadilah beberapa pelaksanaan setelah adanya Musyawarah atau lazim disebut RIA RAJA oleh beberapa Dalian Natolu disebut Boanna. Boan ini (yang dipotong pada hari Hnya) terdiri dari beberapa macam :
Misalnya :
1. Babi/Kambing, disebut Siparmiak-miak
2. Sapi, disebut Lombu Sitio-tio
3. Kerbau, disebut Gajah Toba
Sesuai dengan Adat Dalihan Natolu tingkatan daripada Boan tersebut disesuaikan dengan Parjambaron.
Fungsi Dalihan Natolu menggunakan istilah Adat :
Pangarapotan : Adalah suatu penghormatan kepada yang meninggal yang mempunyai gelar Sari Matua dan lain-lain sebelum acara besarnya dan penguburannya atau dihalaman (bilamana memungkinkan). Dalam hal ini suhut dapat meminta tumpak (bantuan) secara resmi dari family yang tergabung dalam Dalihan Natolu disebut Tumpak di Alaman.
Partuatna : hari yang dianggap menyelesaikan Adat kepada seluruh halayat Dalihan Natolu yang mempunyai hubunngan berdasarkan adat. Pada waktu pelaksanaan ini pulu Suhut akan memberikan Piso-piso/stuak Natonggi kepada kelompok Hula-hula/Tulang yang mana memberikan Ulos tersebut diatas kepada yang meninggal dan keluarga dan pemberian uang ini oleh keluarga tanda kasihnya.. Juga pada waktu bersamaan ini pula dibagikan jambar-jambar sesuai dengan fungsinya masing-masing dengan azas musyawarah sebelumnya, setelah itu dilaksanakanlah upacara adat mandokon hata dari masing-masing pihak sesuai dengan urutan-urutan secara tertulis. Setelah selesai, bagi orang Kristen diserahkan kepada Gereja (Huria) untuk seterusnya dikuburkan.
Sumber :http://phartoe.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar